Taspirin, Bocah Tulang Punggung Keluarga dan Guru Ngaji Adik-Adiknya,Kerasnya
kehidupan mungkin sudah menjadi bagian dari kehidupan Taspirin. Bocah
berusia 12 tahun ini harus berjuang seorang diri membesarkan
adik-adiknya ketika jutaan anak Indonesia lainnya masih sibuk bermain
boneka dan nonton televisi di rumah.
Di usianya yang masih
begitu muda, Taspirin sudah menjadi kepala keluarga bagi adik-adiknya
yang masih sangat kecil. Hal itu dilakukannya karena mereka sudah tidak
ada orang tua lagi. Ayah dan kakak sulungnya pergi merantau ke
Kalimantan, sedang ibunya sudah meninggal 2 tahun yang lalu akibat
terkena longsoran batu ketika bekerja menambang pasir dekat rumahnya.
Keseharian Tasripin, warga Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah,
Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sudah dimulai saat
azan subuh baru saja berkumandang. Ia memulai hari dengan menanak nasi
di dapur yang gelap dan lembab. Ketiga adiknya dibangunkan, lalu satu
per satu dimandikan.
Rumah yang ditempati Taspirin dan
adik-adiknya hanya sebuah rumah dengan papa berukuran 5×6 meter saja.
Hanya ada 2 kursi panjang dan satu meja kayu yang menjadi perabotan di
rumah beralaskan tanah itu. Berbeda dengan rumah di sebelahnya yang
berlantai keramik dan tembok.
Kondisi rumah Taspirin lembap dan
pengap. Meskipun hari sudah siang tetap saja hawa lembap terasa di
rumah tersebut. Hal itu tentu saja tidak baik bagi pertumbuhan keempat
anak yang masih dalam usia pertumbuhan tersebut.
Taspirin dan
ketiga adiknya, Dandi (7), Riyanti (6) dan Daryo (4) tidur di dipan kayu
beralaskan plastik. Bila dingin tiba-tiba menyergap, mereka hanya
berselimutkan sarung untuk menghangatkan tubuh mereka. Lingkungan
seperti ini dapat membahayakan kesehatan mereka.
Meski yatim
dan jauh dari ayahnya, Tasripin berusaha mandiri. Ia cekatan mengurusi
adik-adiknya. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, ia bekerja
menjadi buruh tani pada tetangganya. Ia juga kadang bekerja serabutan
asal bisa mendapat uang, mulai dari mengeringkan gabah, bekerja di
sawah, hingga menjadi kuli angkut hasil panen. Ia tidak mengeluh meski
harus mengangkut barang sejauh 2 km dari sawah ke rumah juragannya.
Kadang Taspirin dibayar uang Rp10.000 atau dikasih beras oleh
juragannya.
Kadang kala ia pun terpaksa berutang bila tidak ada
pekerjaan. Beruntung ia memiliki tetangga yang memahami kondisi
keluarganya. Bila tidak bekerja, kadang tetangga dan bibinya yang
memberi makanan.
Selain memasak, Tasripin juga mencuci pakaian,
menyapu rumah, hingga terkadang membetulkan talang air rumahnya yang
bocor. Meskipun bekerja, dia selalu memantau ke mana adik-adiknya
bermain. Jika sore menjelang dan adiknya belum pulang, ia akan mencari
mereka hingga ke hutan.
Ayahnya beberapa kali mengirim uang
melalui bibi Tasripin. Uang itu untuk membayar listrik dan kebutuhan
mendesak, seperti jika ada adiknya yang sakit. Akibatnya, sekolah
menjadi barang mahal bagi mereka. Dari keempat anak itu, hanya Daryo
yang bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD).
Tasripin
sebenarnya masih terlilit biaya sekolah lebih dari Rp 100.000 di SD
Negeri Sambirata 3. Kedua adiknya, Dandi dan Riyanti, tidak melanjutkan
sekolah karena malu sering diejek teman-temannya. Riyanti, adik
perempuannya, sakit. Ada luka di kepalanya.
Meski miskin dan
tidak merasakan pendidikan, Tasripin merasa bertanggung jawab pada
akhlak adik-adiknya. Tiap sore dia mengajari adik-adiknya membaca Al
Quran. Dengan sabar, dia juga mengajak adiknya shalat dan mengaji di
mushala depan rumahnya. Saat malam kian larut, ia mulai menidurkan
adiknya. Dinginnya angin gunung yang menelusup melalui celah papan
rumahnya dilawan Tasripin dengan memeluk erat adik-adiknya yang lelap.
Like Dan Share Jika Kamu Suka Artikelnya Dan Terima Kasih Sudah Berkunjung Di Blog Sederhana Ini
Follow @posterkini |
|
0 komentar:
Post a Comment