Pada 19 April 2013, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) genap berusia 83 tahun. Usia yang sudah tak bisa dibilang muda. Jika PSSI diibaratkan manusia, tentunya PSSI merupakan seorang yang sudah tua yang mungkin tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan dunia selamanya.
Tetapi, sebagai organisasi yang membidani olahraga paling populer di Indonesia, PSSI tentunya tak boleh terlalu cepat menjadi memori sejarah. Organisasi ini perlu tetap eksis dan berkontribusi positif, seperti yang dicita-citakan oleh Ir. Soeratin, pendirinya.
Kondisi terkini sepak bola Indonesia jelas membuat miris hati kita, terlebih Ir. Soeratin yang sudah mencurahkan hidupnya semata untuk sepak bola Indonesia. Dia sudah berkorban banyak. Dia memimpin PSSI selama 11 periode (waktu itu kongres berlangsung setahun sekali) bukan karena politik uang atau nafsu berkuasa, melainkan karena dia dianggap sebagai orang yang mampu, punya totalitas, dan mampu mengayomi berbagai insan sepak bola Indonesia. Meskipun itu artinya harus mengesampingkan kehidupan pribadi.
Ir. Soeratin lahir di Yogyakarta, 17 Desember 1898. Lelaki bernama lengkap Soeratin Soesrosoegondo ini dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terpelajar. Ayahnya mengajar di Kweekschool, dan penulis buku “Bausastra Basa Jawi”. Soeratin pun tumbuh menjadi lelaki yang cerdas dan memiliki kesempatan untuk terus bersekolah — hingga mengenyam studi di Koningen Wilhelmina School di Jakarta.
Selepas merampungkan studi di Wilhelmina, Soeratin meneruskan ke Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, dekat Hamburg, Jerman pada tahun 1920. Dari sekolah inilah, Soeratin bisa lulus sebagai insinyur sipil pada tahun 1927 dan berhak menyematkan gelar Ir. di depan namanya.
Soeratin bukanlah orang yang lupa pada tanah air walaupun hidup di Jerman begitu nyaman. Pada 1928 dia kembali ke nusantara dan bekerja di sebuah perusahaan konstruksi terkemuka Belanda. Perusahaan jasa konstruksi ini membangun infrastruktur, seperti jembatan dan gedung di Tegal, Bandung dan beberapa daerah lain.
Pada masa itu pergerakan nasional sedang menggeliat setelah adanya Sumpah Pemuda tahun 1928. Sulit bagi Soeratin untuk tidak ikut terlibat. Ada keinginan untuk memanfaatkan ilmunya bagi tanah leluhur dan juga menghapuskan penjajahan di bumi nusantara.
Namun, bukan gerakan politik yang dipilih oleh Soeratin. Dia lebih memilih memanfaatkan olahraga sebagai sarana memupuk rasa persatuan. Sepak bola yang sudah populer kala itu dipilih sebagai olahraga yang dijadikan alat untuk menjalin hubungan antar pemuda di berbagai daerah di Indonesia. Terlebih pula Soeratin merupakan penggemar olahraga sebelas lawan sebelas ini.
Pekerjaannya yang berpindah-pindah mempermudah Soeratin untuk menjalin komunikasi dengan kawan-kawan di daerah. Dia pun didukung penuh oleh keluarganya untuk terlibat dalam pergerakan nasional. Terlebih lagi istrinya, R. A. Srie Woelan, adalah adik kandung Dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, organisasi pemuda masa pergerakan nasional.
Dalam waktu yang relatif cepat Ir. Soeratin sudah mampu menjalin komunikasi intens dengan tokoh sepak bola di daerah dengan basis sepak bola kuat seperti Jakarta, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Solo, Madiun, hingga Surabaya untuk mempermudah langkah mendirikan organisasi sepak bola yang bersifat nasional. Pertemuan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi untuk menghindari intel Belanda.
Akhirnya pada 19 April 1930, tokoh sepak bola dari berbagai daerah berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI, yang ketika itu merupakan kependekan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Penggantian kata “Sepak Raga” menjadi “Sepak Bola” baru dilakukan saat kongres Solo tahun 1950. Kongres di Yogyakarta sendiri dihadiri oleh Voetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ, yang kini kita kenal dengan nama Persija), BIVB Bandung (Persib), PSIM Mataram, PPSM Magelang, VVB Solo (Persis), IVBM Madiun, serta SIVB Surabaya (Persebaya).
Setelah terbentuk PSSI, kemudian diselenggarakan kompetisi sepak bola yang bersifat nasional secara rutin mulai tahun 1931. Dengan diadakannya kompetisi ini bisa menarik minat berbagai klub sepak bola yang sebelumnya belum bergabung menjadi bergabung dengan PSSI. Organisasi ini juga aman dari pengawasan Belanda yang mulai melarang organisasi politik. Klub sepak bola Hindia Belanda pun sering melakukan latih tanding dengan klub anggota PSSI.
Saat itu PSSI bukannya tanpa masalah. Pernah ada dualisme seperti yang terjadi saat ini. PSIM Mataram pernah berselisih dengan PSSI pimpinan Soeratin, sebagaimana dituliskan dalam artikel Pandit Football ini. Pada tahun 1934, PSIM keluar dari PSSI dan membentuk Persatuan Olah Raga Indonesia (Porsi). PSSI menyikapinya dengan membentuk Persim Mataram. Namun, akhirnya PSIM kembali bergabung ke PSSI pada tahun 1937.
Ketika mulai sibuk dengan kegiatan di sepak bola, Soeratin pun keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia kemudian mendirikan usaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Tetapi usaha itu hancur setelah Jepang datang. Perang berlangsung, Soeratin pun bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Saat itu PSSI dinonaktifkan dan berada di bawah Taiikukai, asosiasi olahraga Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Ir. Soeratin menjadi salah seorang pemimpin Djawatan Kereta Api. PSSI pun aktif kembali. Sayangnya, Soeratin tidak terus hidup layak. Beliau meninggal dalam kemiskinan dan kesunyian. Tahun 1959, beliau akhirnya meninggal di rumahnya yang amat sederhana di jalan Lombok Bandung yang berdindingkan bambu 4x6 meter setelah berjuang melawan penyakitnya yang sempat tak terobati lantaran tidak mampu menebus obat.
Hingga kini belum ada usaha maksimal menghargai jasa Soeratin selain namanya diabadikan di Piala Soeratin, kejuaraan junior. Dia sempat diusulkan sebagai pahlawan nasional melalui Rapat Paripurna Nasional PSSI 2005 (Kep/09/Raparnas/XI/2005) tetapi sayang, hingga kini gelar itu belum diperoleh karena masalah administrasi.
Tetapi dengan gelar pahlawan nasional atau tidak, dengan namanya disematkan sebagai nama stadion sepak bola atau tidak, nama Soeratin — dengan kelebihan dan kekurangannya — tetap akan harum di Indonesia, terlebih bagi publik pecinta sepak bola.
Tetapi, sebagai organisasi yang membidani olahraga paling populer di Indonesia, PSSI tentunya tak boleh terlalu cepat menjadi memori sejarah. Organisasi ini perlu tetap eksis dan berkontribusi positif, seperti yang dicita-citakan oleh Ir. Soeratin, pendirinya.
Kondisi terkini sepak bola Indonesia jelas membuat miris hati kita, terlebih Ir. Soeratin yang sudah mencurahkan hidupnya semata untuk sepak bola Indonesia. Dia sudah berkorban banyak. Dia memimpin PSSI selama 11 periode (waktu itu kongres berlangsung setahun sekali) bukan karena politik uang atau nafsu berkuasa, melainkan karena dia dianggap sebagai orang yang mampu, punya totalitas, dan mampu mengayomi berbagai insan sepak bola Indonesia. Meskipun itu artinya harus mengesampingkan kehidupan pribadi.
Ir. Soeratin lahir di Yogyakarta, 17 Desember 1898. Lelaki bernama lengkap Soeratin Soesrosoegondo ini dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terpelajar. Ayahnya mengajar di Kweekschool, dan penulis buku “Bausastra Basa Jawi”. Soeratin pun tumbuh menjadi lelaki yang cerdas dan memiliki kesempatan untuk terus bersekolah — hingga mengenyam studi di Koningen Wilhelmina School di Jakarta.
Selepas merampungkan studi di Wilhelmina, Soeratin meneruskan ke Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, dekat Hamburg, Jerman pada tahun 1920. Dari sekolah inilah, Soeratin bisa lulus sebagai insinyur sipil pada tahun 1927 dan berhak menyematkan gelar Ir. di depan namanya.
Soeratin bukanlah orang yang lupa pada tanah air walaupun hidup di Jerman begitu nyaman. Pada 1928 dia kembali ke nusantara dan bekerja di sebuah perusahaan konstruksi terkemuka Belanda. Perusahaan jasa konstruksi ini membangun infrastruktur, seperti jembatan dan gedung di Tegal, Bandung dan beberapa daerah lain.
Pada masa itu pergerakan nasional sedang menggeliat setelah adanya Sumpah Pemuda tahun 1928. Sulit bagi Soeratin untuk tidak ikut terlibat. Ada keinginan untuk memanfaatkan ilmunya bagi tanah leluhur dan juga menghapuskan penjajahan di bumi nusantara.
Namun, bukan gerakan politik yang dipilih oleh Soeratin. Dia lebih memilih memanfaatkan olahraga sebagai sarana memupuk rasa persatuan. Sepak bola yang sudah populer kala itu dipilih sebagai olahraga yang dijadikan alat untuk menjalin hubungan antar pemuda di berbagai daerah di Indonesia. Terlebih pula Soeratin merupakan penggemar olahraga sebelas lawan sebelas ini.
Pekerjaannya yang berpindah-pindah mempermudah Soeratin untuk menjalin komunikasi dengan kawan-kawan di daerah. Dia pun didukung penuh oleh keluarganya untuk terlibat dalam pergerakan nasional. Terlebih lagi istrinya, R. A. Srie Woelan, adalah adik kandung Dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, organisasi pemuda masa pergerakan nasional.
Dalam waktu yang relatif cepat Ir. Soeratin sudah mampu menjalin komunikasi intens dengan tokoh sepak bola di daerah dengan basis sepak bola kuat seperti Jakarta, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Solo, Madiun, hingga Surabaya untuk mempermudah langkah mendirikan organisasi sepak bola yang bersifat nasional. Pertemuan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi untuk menghindari intel Belanda.
Akhirnya pada 19 April 1930, tokoh sepak bola dari berbagai daerah berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI, yang ketika itu merupakan kependekan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Penggantian kata “Sepak Raga” menjadi “Sepak Bola” baru dilakukan saat kongres Solo tahun 1950. Kongres di Yogyakarta sendiri dihadiri oleh Voetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ, yang kini kita kenal dengan nama Persija), BIVB Bandung (Persib), PSIM Mataram, PPSM Magelang, VVB Solo (Persis), IVBM Madiun, serta SIVB Surabaya (Persebaya).
Setelah terbentuk PSSI, kemudian diselenggarakan kompetisi sepak bola yang bersifat nasional secara rutin mulai tahun 1931. Dengan diadakannya kompetisi ini bisa menarik minat berbagai klub sepak bola yang sebelumnya belum bergabung menjadi bergabung dengan PSSI. Organisasi ini juga aman dari pengawasan Belanda yang mulai melarang organisasi politik. Klub sepak bola Hindia Belanda pun sering melakukan latih tanding dengan klub anggota PSSI.
Saat itu PSSI bukannya tanpa masalah. Pernah ada dualisme seperti yang terjadi saat ini. PSIM Mataram pernah berselisih dengan PSSI pimpinan Soeratin, sebagaimana dituliskan dalam artikel Pandit Football ini. Pada tahun 1934, PSIM keluar dari PSSI dan membentuk Persatuan Olah Raga Indonesia (Porsi). PSSI menyikapinya dengan membentuk Persim Mataram. Namun, akhirnya PSIM kembali bergabung ke PSSI pada tahun 1937.
Ketika mulai sibuk dengan kegiatan di sepak bola, Soeratin pun keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia kemudian mendirikan usaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Tetapi usaha itu hancur setelah Jepang datang. Perang berlangsung, Soeratin pun bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Saat itu PSSI dinonaktifkan dan berada di bawah Taiikukai, asosiasi olahraga Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Ir. Soeratin menjadi salah seorang pemimpin Djawatan Kereta Api. PSSI pun aktif kembali. Sayangnya, Soeratin tidak terus hidup layak. Beliau meninggal dalam kemiskinan dan kesunyian. Tahun 1959, beliau akhirnya meninggal di rumahnya yang amat sederhana di jalan Lombok Bandung yang berdindingkan bambu 4x6 meter setelah berjuang melawan penyakitnya yang sempat tak terobati lantaran tidak mampu menebus obat.
Hingga kini belum ada usaha maksimal menghargai jasa Soeratin selain namanya diabadikan di Piala Soeratin, kejuaraan junior. Dia sempat diusulkan sebagai pahlawan nasional melalui Rapat Paripurna Nasional PSSI 2005 (Kep/09/Raparnas/XI/2005) tetapi sayang, hingga kini gelar itu belum diperoleh karena masalah administrasi.
Tetapi dengan gelar pahlawan nasional atau tidak, dengan namanya disematkan sebagai nama stadion sepak bola atau tidak, nama Soeratin — dengan kelebihan dan kekurangannya — tetap akan harum di Indonesia, terlebih bagi publik pecinta sepak bola.
Like Dan Share Jika Kamu Suka Artikelnya Dan Terima Kasih Sudah Berkunjung Di Blog Sederhana Ini
Follow @posterkini |
|
0 komentar:
Post a Comment