Tasikmalaya - Kampung Naga yang terletak di Tasikmalaya, di mata wisatawan identik dengan desa tradisional yang jauh dari kemajuan zaman. Tapi itu dulu, sekarang teknologi perlahan masuk dan ABG di Kampung Naga sudah menenteng ponsel dan MP3.
Mengingat sejarah peristiwa DI/TII, diceritakan sebuah kampung yang dibakar oleh Kartosuwiryo di Tasikmalaya, Jawa Barat, Kampung Naga namanya. Kampung yang masih kental dengan aturan-aturan nenek moyang luasnya 1,5 Hektar dan memiliki 113 rumah panggung.
Kampung ini kini menjadi obyek wisata tujuan pelancong dari berbagai dalam dan luar negeri. Saya pergi ke kampung naga beberapa waktu lalu bersama kawan-kawan. Sebelum berjalan menginjak bhumi Kampung Naga, semua pelancong harus melewati 400 buah anak tangga yang meliuk-liuk dan melelahkan karena kampung ini terletak di bawah bukit.
Dari ketinggian 200 buah anak tangga, terlihatlah hijaunya sawah terasering yang disuguhkan dan derasnya percikan air dari Sungai Ciwulan. Dari titik inilah sekelompok bangunan beratap ijuk hitam yang kelihatan unik dan membuat rasa penasaran hati semakin terkuras.
Memotret seluruh keagungan Tuhan yang diciptakan disini. Tak terasa kaki ini sudah beranjak di tangga terakhir. Bangunan rumah berpondasi bambu dan beratap ijuk hitam serta kolam-kolam kecil membuat takjub. Begitu pula bunyi-bunyian alam dari sungai Ciwulan membuat suasana semakin terasa bahwa kita berada di suatu pedesaan yang begitu tenang bebas dari asap kota.
Kampung ini menyimpan tempat yang dikeramatkan dan pengunjung tidak boleh sembarangan menyentuh, antara lain Bhumi Ageng , Bekas Pangsalatan Nenek Moyang dan Bekas Lumbung Nenek Moyang. Entah apa yang melatarbelakangi tempat ini dikeramatkan sampai sekarang.
Matahari yang semakin terik siang itu, tak menghalangi kami ingin mengitari kampung dari sisi yang sama. Masyarakatnya pun ramah dan selalu melempar senyum jika berpapasan. Banyak anak kecil yang bermain dengan riang siang itu. Kami diberi kesempatan mengunjungi dan membuka langsung pintu rumah salah satu warga, di sambut dengan seisi rumahnya yang terbuat dari bambu dan kayu.
Dapurnya juga sangat gelap dan usang, mereka memasak dengan dapur tradisional menggunakan kayu bakar. Di ruang tengah, kami dikejutkan oleh benda kotak berwarna hitam yakni televisi buram terletak di pojok dinding.
"Semua fasilitas yang ditawarkan pemerintah setempat selalu kami tolak, seperti misalnya listrik dengan alasan bahan baku rumah yang rentan terjadi kebakaran dan takut akan merubah gaya hidup masyarakat asli Kampung Naga," cerita Cahyan, pemandu kami.
Menurut dia, alat elektronik itu bisa menyala karena sebagian besar warga di sini menggunakan aki untuk menciptakan listrik di tiap-tiap rumah. Tapi yang justru mengejutkan, saya memperhatikan banyak pula anak muda yang sudah memegang handphone dan mendengarkan MP3 lagu barat.
Kondisi ini tentu berbanding terbalik 360 derajat dengan keterangan si pemandu. Tanpa disadari ternyata Kampung Naga sudah mengenal teknologi sesuai zaman.
Di balik keeksotisan bangunan rumah beratap ijuk, kini tidak lagi berupa kampung yang lengang seperti dahulu kala. Sebagian warga Kampung Naga, terutama anak-anak mudanya mulai akrab dengan teknologi dan modernisasi.
Mengingat sejarah peristiwa DI/TII, diceritakan sebuah kampung yang dibakar oleh Kartosuwiryo di Tasikmalaya, Jawa Barat, Kampung Naga namanya. Kampung yang masih kental dengan aturan-aturan nenek moyang luasnya 1,5 Hektar dan memiliki 113 rumah panggung.
Kampung ini kini menjadi obyek wisata tujuan pelancong dari berbagai dalam dan luar negeri. Saya pergi ke kampung naga beberapa waktu lalu bersama kawan-kawan. Sebelum berjalan menginjak bhumi Kampung Naga, semua pelancong harus melewati 400 buah anak tangga yang meliuk-liuk dan melelahkan karena kampung ini terletak di bawah bukit.
Dari ketinggian 200 buah anak tangga, terlihatlah hijaunya sawah terasering yang disuguhkan dan derasnya percikan air dari Sungai Ciwulan. Dari titik inilah sekelompok bangunan beratap ijuk hitam yang kelihatan unik dan membuat rasa penasaran hati semakin terkuras.
Memotret seluruh keagungan Tuhan yang diciptakan disini. Tak terasa kaki ini sudah beranjak di tangga terakhir. Bangunan rumah berpondasi bambu dan beratap ijuk hitam serta kolam-kolam kecil membuat takjub. Begitu pula bunyi-bunyian alam dari sungai Ciwulan membuat suasana semakin terasa bahwa kita berada di suatu pedesaan yang begitu tenang bebas dari asap kota.
Kampung ini menyimpan tempat yang dikeramatkan dan pengunjung tidak boleh sembarangan menyentuh, antara lain Bhumi Ageng , Bekas Pangsalatan Nenek Moyang dan Bekas Lumbung Nenek Moyang. Entah apa yang melatarbelakangi tempat ini dikeramatkan sampai sekarang.
Matahari yang semakin terik siang itu, tak menghalangi kami ingin mengitari kampung dari sisi yang sama. Masyarakatnya pun ramah dan selalu melempar senyum jika berpapasan. Banyak anak kecil yang bermain dengan riang siang itu. Kami diberi kesempatan mengunjungi dan membuka langsung pintu rumah salah satu warga, di sambut dengan seisi rumahnya yang terbuat dari bambu dan kayu.
Dapurnya juga sangat gelap dan usang, mereka memasak dengan dapur tradisional menggunakan kayu bakar. Di ruang tengah, kami dikejutkan oleh benda kotak berwarna hitam yakni televisi buram terletak di pojok dinding.
"Semua fasilitas yang ditawarkan pemerintah setempat selalu kami tolak, seperti misalnya listrik dengan alasan bahan baku rumah yang rentan terjadi kebakaran dan takut akan merubah gaya hidup masyarakat asli Kampung Naga," cerita Cahyan, pemandu kami.
Menurut dia, alat elektronik itu bisa menyala karena sebagian besar warga di sini menggunakan aki untuk menciptakan listrik di tiap-tiap rumah. Tapi yang justru mengejutkan, saya memperhatikan banyak pula anak muda yang sudah memegang handphone dan mendengarkan MP3 lagu barat.
Kondisi ini tentu berbanding terbalik 360 derajat dengan keterangan si pemandu. Tanpa disadari ternyata Kampung Naga sudah mengenal teknologi sesuai zaman.
Di balik keeksotisan bangunan rumah beratap ijuk, kini tidak lagi berupa kampung yang lengang seperti dahulu kala. Sebagian warga Kampung Naga, terutama anak-anak mudanya mulai akrab dengan teknologi dan modernisasi.
Like Dan Share Jika Kamu Suka Artikelnya Dan Terima Kasih Sudah Berkunjung Di Blog Sederhana Ini
Follow @posterkini |
|
0 komentar:
Post a Comment