“Lebih enak pakai Ringgit timbang Rupiah,” kata Daeng Mallongi, petani Kakao di Desa Pancang, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Ungkapan Mallongi hampir merata diungkapkan warga Sebatik yang merupakan wilayah Indonesia. Tapi mata uang Negara Malaysia biasa digunakan sebagai media transaksi di daerah perbatasan ini.
Bukan hanya mata uang, kebutuhan dapur warga Sebatik juga sangat bergantung barang dari Tawau Malaysia, seperti beras, gula pasir dan minyak makan. Barang itu sengaja didatangkan dari negeri seberang karena barang Indonesia yang beredar di kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, tak bisa mencukupi.
“Kalau di rumah habis saya ke Tawau belanja, naik kapal cuma 40 menit,” kata Mallongi.
H. Abdul Kalap pemilik toko sembako di Sebatik menjual semua barang dari Malaysia. Mulai roti, tepung, bensin, gas, obat-obatan pertanian, susu kental. Tapi di toko ini juga menjual produk Indonesia, yakni rokok. “Kalau kita bawa rokok dari Malaysia, ditangkap,” kata Kalap.
Kecuali rokok, pembelian barang ditoko milik Kalap ini semua menggunakan Ringgit Malaysia (RM). Ini tampak jelas pada bandrol harga yang ditempel di barang yang dijual tertulis dengan ringgit. “Kalau mau bayar pakai rupiah, ya disesuaikan dengan ringgit, kalau harga barang 3 RM, kira-kira Rp10.000,” ujarnya.
Pembayaran dengan ringgit tak hanya di pertokoan dan jual beli barang. Di sekolah negeri di Sebatik sebagian juga bisa membayar menggunakan ringgit. Ini diakui Rani Riyanti (10), Hasni Maryam (10) yang duduk di bangku kelas 2 dan Iskandar Syahputra (14) yang duduk di kelas 4 SDN 009, Kampung Sinjai. “Bayar SPP 1 ringgit 50 sen,” kata Iskandar Syahputra.
Penggunaan ringgit oleh warga Indonesia di Sebatik bukan tanpa alasan. Menuju ke Tawau, Malaysia warga sebatik hanya perlu waktu 40 menit. Sedangkan menuju kota Tarakan atau Nunukan dari Pelabuhan Sungai Nyamuk, Sebatik memerlukan waktu perjalanan hingga 2 jam lebih. “Barang Malaysia lebih bagus dibanding barang Indonesia,” ungkap Mallongi.
Mallongi mengaku tak berniat untuk tidak menghargai mata uang negaranya sendiri. Jika saja Pemerintah memperhatikan warga di perbatasan dengan memberikan fasilitas seperti di kota, kejadian di Sebatik tak akan terjadi. “Kalau mau nunggu sembako dari Surabaya, kelamaan sampainya,” kata M Taher rekan Mallongi.
Like Dan Share Jika Kamu Suka Artikelnya Dan Terima Kasih Sudah Berkunjung Di Blog Sederhana Ini
Follow @posterkini |
|
0 komentar:
Post a Comment