Peristiwa terjadinya kembang Wijayakusuma pada jaman Prabu Aji Pramosa dari Kediri itu setelah bertahun-tahun menimbulkan kepercayaan bagi raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta. Menurut cerita, setiap ada penobatan raja baik Susuhunan maupun Kesultanan, mengirim utusan 40 orang ke Nusakambangan untuk memetik kembang Wijayakusuma. Sebelum melakukan tugas pemetikan, para utusan itu melakukan ziarah ke makam-makam tokoh leluhur di sekitar Nusakambangan seperti pasarehan Adipati Banjaransari di Karangsuci, Adipati Wiling di Donan, Adipati Purbasari di Dhaunlumbung, Kyai Singalodra di Kebon Baru dan Panembahan Tlecer di Nusakambangan.
Tempat lain yang juga diziarahi yaitu pasarehan Kyai Ageng Wanakusuma di Gilirangan dan Kyai Khasan Besari di Gumelem (Banjarnegara). Selain ziarah atau nyekar, mereka melakukan tahlilan dan sedekah kepada fakir miskin. Malam berikutnya “nepi” (bermalam) di Masjid Sela. Masjid Sela adalah sebuah gua di pulau Nusakambangan yang menyerupai Masjid.
Pemetikan kembang Wijayakusuma juga dilakukan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono XI, yaitu saat Sunan Pakubuwono XI baru “jumenengan” (dinobatkan sebagai raja). Bahkan adat leluhur ini konon sudah dilakukan jauh sebelum itu. Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirim utusan untuk memetik kembang Wijayakusuma, yaitu setelah ia menobatkan dirinya sebagai raja Mataram menggantikan ayahandanya. Menurut seorang sejarawan Belanda H.J. de Graaf, peristiwa jumenengan tersebut dilaksanakan di pada tanggal 7 Juli 1677 dalam perjalanannya ke Batavia saat dikejar Trunojoyo.
Menurut keterangan, cara memetik bunga Wijayakusuma tidak dengan tangan tetapi dengan cara gaib melalui samadi. Sebelumnya para utusan raja melakukan upacara “melabuh" (sedekah laut) di tengah laut dekat pulau Karang Bandung. Sebelum dipetik, pohon itu dibalut terlebih dahulu dengan cinde sampai ke atas. Dengan berpakaian serba putih utusan itu bersamadi di bawahnya, jika memang samadinya terkabul, kembang Wijayakusuma akan mekar dan mengeluarkan bau harum. Kemudian bunga itu jatuh dengan sendirinya ke dalam kendaga yang sudah dipersiapkan. Selanjutnya kembang tersebut dibawa para utusan ke Kraton untuk dihaturkan ke Sri Susuhunan / Sri Sultan. Penyerahan itu pun dilakukan dengan upacara tertentu, konon kembang itu dibuat sebagai rujak dan disantap raja yang hendak dinobatkan, dengan demikian raja dianggap syah dan dapat mewariskan tahta kerajaan kepada anak cucu serta keturunannya. Mithe tentang kembang Wijayakusuma ini sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan di pantai selatan.
Tempat lain yang juga diziarahi yaitu pasarehan Kyai Ageng Wanakusuma di Gilirangan dan Kyai Khasan Besari di Gumelem (Banjarnegara). Selain ziarah atau nyekar, mereka melakukan tahlilan dan sedekah kepada fakir miskin. Malam berikutnya “nepi” (bermalam) di Masjid Sela. Masjid Sela adalah sebuah gua di pulau Nusakambangan yang menyerupai Masjid.
Pemetikan kembang Wijayakusuma juga dilakukan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono XI, yaitu saat Sunan Pakubuwono XI baru “jumenengan” (dinobatkan sebagai raja). Bahkan adat leluhur ini konon sudah dilakukan jauh sebelum itu. Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirim utusan untuk memetik kembang Wijayakusuma, yaitu setelah ia menobatkan dirinya sebagai raja Mataram menggantikan ayahandanya. Menurut seorang sejarawan Belanda H.J. de Graaf, peristiwa jumenengan tersebut dilaksanakan di pada tanggal 7 Juli 1677 dalam perjalanannya ke Batavia saat dikejar Trunojoyo.
Menurut keterangan, cara memetik bunga Wijayakusuma tidak dengan tangan tetapi dengan cara gaib melalui samadi. Sebelumnya para utusan raja melakukan upacara “melabuh" (sedekah laut) di tengah laut dekat pulau Karang Bandung. Sebelum dipetik, pohon itu dibalut terlebih dahulu dengan cinde sampai ke atas. Dengan berpakaian serba putih utusan itu bersamadi di bawahnya, jika memang samadinya terkabul, kembang Wijayakusuma akan mekar dan mengeluarkan bau harum. Kemudian bunga itu jatuh dengan sendirinya ke dalam kendaga yang sudah dipersiapkan. Selanjutnya kembang tersebut dibawa para utusan ke Kraton untuk dihaturkan ke Sri Susuhunan / Sri Sultan. Penyerahan itu pun dilakukan dengan upacara tertentu, konon kembang itu dibuat sebagai rujak dan disantap raja yang hendak dinobatkan, dengan demikian raja dianggap syah dan dapat mewariskan tahta kerajaan kepada anak cucu serta keturunannya. Mithe tentang kembang Wijayakusuma ini sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan di pantai selatan.
Ada sejenis ikan yang mereka keramatkan yaitu ikan Dawah (dawah artinya jatuh). Ikan ini dianggap jelmaan dari daun pohon Wijayakusuma yang berjatuhan di laut. Para nelayan itu sangat berpantang memakan ikan Dawah, mereka takut mendapat bencana atau malapetaka. Umumnya mereka menolak rezeki Tuhan yang satu ini padahal dagingnya empuk dan rasanya lezat. Pengaruh Mithe ini juga melahirkan upacara budaya sedekah laut yang dilaksanakan setiap bulan Sura, mereka melarung rezekinya ke laut pantai selatan demikian raja dianggap syah dan dapat mewariskan tahta kerajaan kepada anak cucu serta keturunannya. Mithe tentang kembang Wijayakusuma ini sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan di pantai selatan.
WIJAYAKUSUMA KERAMAT
WIJAYAKUSUMA KERAMAT
Nama latinnya Pisonia Grandis var Silvestris, tanaman ini kurang dikenal oleh mayarakat luas. Yang paham umumnya ahli botani sama paranormal, bentuknya mirip kol banda (Pisonia Alba) yang biasa di tanam untuk tanaman hias. Bedanya, daun pucuk kol banda warnanya kuning cerah, sementara daun pucuk wijayakusuma tetap hijau seperti daun pada umumnya.
Tanaman wijayakusuma tingginga sekitar 3 meter bentuknya mirip bonsai. Menurut ahli K. Heyne, tanaman ini tingginya bisa mencapai 13 meter. Di Indonesia adanya di Kepulauan Seribu, Karimunjawa, pulau Puteran Madura, Bali, Ambon dan di Pulau Karang Bandung dekat pulau Nusakambangan. Di Bali dinamakan dag-dag see, di Ambon dinamakan sayur putih pulu. Yang bisa berbunga (mekar) cuma wijayakusuma Pisonia ini, yaitu yang ada pulau Karang Bandung Nusakambangan, Karimunjawa dan Bali, tapi jarang sekali.
Wijayakusuma punya bunga majemuk, tangkai bunganya merekah keluar. Satu tangkai bisa punya sekitar 10 malai, tiap malai tumbuh sampai 20 kuntum bunga, jadi satu tangkai Wijayakusuma itu bisa ratusan bunga. Diameter bunga sangat keci, cuma sekitar 2-4 milimeter, kalu sedang mekar , panjangnya sampai 5 nganti 6 milimeter, bentuknya mirip terompet , warna kelopak bunga hijau, mahkota putih, benang sari putih kekuningan.
Bunga Wijayakusuma beraroma harum, mekar pada siang hari, dan bisa bertahan satu hari, setelah itu layu terus kering. Setangkai bunga kalau mekar tidak berbarengan tetapi bertahap, ada yang bisa menjadi biji (antara 1 - 2).
Tanaman wijayakusuma tingginga sekitar 3 meter bentuknya mirip bonsai. Menurut ahli K. Heyne, tanaman ini tingginya bisa mencapai 13 meter. Di Indonesia adanya di Kepulauan Seribu, Karimunjawa, pulau Puteran Madura, Bali, Ambon dan di Pulau Karang Bandung dekat pulau Nusakambangan. Di Bali dinamakan dag-dag see, di Ambon dinamakan sayur putih pulu. Yang bisa berbunga (mekar) cuma wijayakusuma Pisonia ini, yaitu yang ada pulau Karang Bandung Nusakambangan, Karimunjawa dan Bali, tapi jarang sekali.
Wijayakusuma punya bunga majemuk, tangkai bunganya merekah keluar. Satu tangkai bisa punya sekitar 10 malai, tiap malai tumbuh sampai 20 kuntum bunga, jadi satu tangkai Wijayakusuma itu bisa ratusan bunga. Diameter bunga sangat keci, cuma sekitar 2-4 milimeter, kalu sedang mekar , panjangnya sampai 5 nganti 6 milimeter, bentuknya mirip terompet , warna kelopak bunga hijau, mahkota putih, benang sari putih kekuningan.
Bunga Wijayakusuma beraroma harum, mekar pada siang hari, dan bisa bertahan satu hari, setelah itu layu terus kering. Setangkai bunga kalau mekar tidak berbarengan tetapi bertahap, ada yang bisa menjadi biji (antara 1 - 2).
Like Dan Share Jika Kamu Suka Artikelnya Dan Terima Kasih Sudah Berkunjung Di Blog Sederhana Ini
Follow @posterkini |
|
0 komentar:
Post a Comment